Sabtu, 26 Juni 2010

Gambaran Penatalaksanaan Cara Menyusui Bayi 0-6 Bulan

Memberikan ASI adalah cara terbaik untuk memberi makanan kepada bayi, memberi ASI juga sangat baik bagi ibu karena tindakan ini dapat mengurangi resiko ibu terhadap beberapa penyakit  seperti kanker payudara dankanker indung telur. Menyusui juga merupakan salah satu cara yang hemat dari pada memberikan susu formula, selain itu menyusui dapat menciptakan ikatan khusus antara ibu dan bayimya (Whalley, Janet, dkk, 2008).
Oleh karena itu salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ibu dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif sampai 6 (enam) bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 (dua) tahun. Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan Kepmenkes RI No. 450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi Indonesia.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapat Gambaran Penatalaksanaan Cara Menyusui bayi 0-6 bulan oleh Ibu di BPS Nur Aisyah Sekampung Lampung Timur tahun 2009. 
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan sampel keseluruhan ibu yang memiliki bayi 0-6 bulan di di BPS Nur Aisyah Lampung Timur pada Juli 2009 berjumlah 38 orang. Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode angket dan alat ukur berupa lembar ceklist yang langsung diberikan pada responden.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa Penatalaksanaan Cara menyusui Bayu 0-6 bulan oleh ibu di BPS Nur Aisyah Sekampung adalah sebagai berikut: 1 orang ibu dengan kategori yang baik (2,63%), 25 orang ibu dengan kategori cukup (65,79%), 10 orang dengan kategori kurang (26,32%), dan 2 orang ibu dengan kategori yang tidak baik (5,26%)
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah tingkat Penatalaksanaan ibu dalam menyusui bayi 0-6 bulan di BPS Nur Aisyah Sekampung Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2009 secara umum adalah cukup (65,79%).

Kata Kunci : Ibu Balita, Cara Menyusui 

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. ASI
2. Menyusui 
3. Mekanisme Menyusui
4. Beberapa Masalah yang sering terjadi ketika bayi menyusui
5. Keunggulan ASI terhadap Susu Lainnya
6. Tehnik Menyusui
7. Langkah-langkah Menyusui yang Benar
8. Menyendawakan Bayi
B. Kerangka Konsep Penelitian
C. Definisi Operasional  
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Populasi dan Sampel dan Tehnik sampling
C. Instrumen Penelitian
D. Tehnik Pengumpulan Data
E. Pengolahan Data
F. Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum BPS Nur Aisyah
1. Jenis Pelayanan
2. Sarana dan Prasarana7
3. Ketenagaan 
B. Hasil Penelitian
C. Pembahasan 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DA TERTARIK DENGAN JUDUL KTI DI ATAS ....... 
SILAHKAN ANDA PESAN KESELURUHAN ISI KTI

Kehamilan Ektopik

I. PENDAHULUAN 
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan. 
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat. 
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang ditemukan. 
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis.  

II. PATOFISIOLOGI ENDOKRIN 
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii. Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba, seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba. 
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat menyebabkan aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba fallopii, mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba terhadap hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik pada struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia. 
Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan bahwa hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4 diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum tertahan di ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan melalui mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum uteri, dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi. 
Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan proses E2-dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan menggunakan transmisi mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa siliogenesis mengambil tempat selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur hanya tampak pada pertengahan siklus. Bersama-sama Desiliasi dan atrofi, peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20% dari sel-sel mengalami kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa siliogenesis adalah satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah. Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi selama keseluruhan stadium siklus menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel silia. Selama fase luteal, meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase penyembuhan (recovery) memerlukan P4 withdrawal. 
Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama fase luteal. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan isthmus dan tergantung pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi. Perubahan dari lingkungan hormonal yang didominasi E2 ke lingkungan yang di dominasi P4 secara temporer membawa kepada perubahan-perubahan ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi denyut silia dalam hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama terhadap efek antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi silia. 
Tidaklah mengherankan, bahwa perubahan utama dari kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin eksogen dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba falopii terhadap implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi tubal anionik, yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya dengan kualitas implantation-resisting lainnya., tidak ditemukan dari tuba. 
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih belum jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan. Kemungkinan, kadar yang meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena itu melemahkan transpor ovum. Laufer dkk., meskipun, telah menyimpulkan konsentrasi lokal yang tinggi dari P4 merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi. Peneliti ini mempelajari produksi steroid oleh sel-sel korona kumulus, yang masih melekat pada oosit yang dibuahi selama 2 sampai 3 hari setelah ovulasi selama perjalanannya di tuba. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui pergantian dalam motilitas tuba. 
Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang cukup untuk mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi P4, dua akibat mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada menstruasi dan peningkatan kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan embrio ke ujung fimbria. Apakah kehamilan ektopik akan tetap in situ, meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa kepada keadaan localized myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari kehamilan akan menyebabkan ruptur tuba. 

III. DIAGNOSIS 
A. Diagnosis Klinik 
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi  bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik. 
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik. Frekuensi dari kehamilan ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik. Karena perbedaan ini, logikanya untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur pembedahan pada wanita yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel. 

B. Petanda Trofoblastik 
Berdasarkan totipotensial alami dari trofoblas, tidaklah mengherankan bahwa jaringan ini mensekresikan sejumlah subtansi yang bervariasi, termasuk beberapa protein yang kelihatannya unik bagi kehamilan. Tiga macam protein telah diteliti secara luas sebagai petanda yang potensial dari kehamilan yang viabel. Ketiga macam protein ini dapat digunakan dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik.  

1. Human Chorionik Gonadotropin 
Human Chorionik Gonadotropin (hCG) memiliki berat molekul 36.000 sampai 46.000, adalah satu glikoprotein yang secara biologi dan imunologi mirip dengan luteinizing hormone (LH). Waktu paruh hCG kelihatannya lebih besar daripada LH (5 - 40 jam dibandingkan 1- 2 jam). Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa penting untuk membedakan struktur molekul yang ada antara kedua substansi ini dengan aksi biologis yang serupa. Sebagai contoh, Kadar asam sialat dari hCG adalah lebih besar daripada LH. Lebih jauh, 28- 30 asam amino terminal pada ujung karboksi dari subunit β glikoprotein mewakili deretan yang unik yang membedakan molekul ini dari LH. Semua hormon glikoprotein, hCG, LH, FSH, TSH, membagi dengan dekat subunit α identik, yang secara esensial dapat dipertukarkan. subunit α ini dapat direkombinasikan dengan setiap empat subunit β yang berbeda untuk membentuk satu produk yang memiliki ciri aktivitas biologik komponen subunit β. hCG diproduksi oleh sinsitiotrofoblas selama kehamilan, juga dibuat oleh jaringan trofoblastik jenis lain, termasuk yang berasal dari chorioadenoma destruens, choriocarcinoma, dan mola hidatidosa. 
Produksi ektopik dari hCG telah dicatat dengan baik dan telah diidentifikasi dalam plasma orang dewasa normal yang tidak hamil. HCG tampaknya berfungsi sebagai satu hormon luteotrofik selama kehamilan. Hormon ini mempertahankan korpus luteum, karena itu menghasilkan produksi P4 yang berkelanjutan yang diperlukan untuk pertumbuhan endometrium sampai plasenta mengambil alih perannya. Sebagai tambahan, data yang didapat Jaffe mengatakan bahwa hCG dapat maengatur produksi steroid dalam fetus, termasuk produksi dehidroepiandrosteron sulfat (DHA-S) oleh kelenjar adrenal fetus dan produksi testosteron oleh testis. HCG dapat dideteksi dalam kehamilan spontan setelah hari ke-9 LH surge. Deteksi awal dalam darah ibu telah ditemukan memiliki korelasi dengan implantasi blastokis dan secara spesifik dengan saat lakuna menerima aliran darah ibu. 
 Pada kehamilan awal, hCG kelihatannya disekresikan dalam bentuk episodik dan pulsatil, yang paralel dengan sekresi progesteron. Fluktuasi ini telah diperlihatkan pada penentuan dari kedua kadar serum hCG secara imunoaktif dan bioaktif. Dengan demikian pola sekresi menyarankan adanya stimulasi yang intermiten terhadap corpus luteum oleh hCG dan adalah dalam kesepakatan dengan efek stimuilasi yang telah diketahui dari pelepasan gonadotropin secara pulsatil atas sekresi steroid ovarium. Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah diasumsikan konstan dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan yang telah dilaporkan bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh, Lenton dkk. Telah menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari berhubungan dengan dobling time yang diketahui dari massa sel trofoblastik. 
Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai variabilitas. Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari peningkatan konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama minggu-minggu pertama postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada kenyataannya, dobling time dari deteksi awal hCG sampai kira-kira hari ke-35 setelah onset periode menstruasi terakhir yang diobservasi adalah 
1,4 – 1,6 hari. 

2. Human placental lactogen (hPL) 
Human placental lactogen (hPL) merupakan polopeptid rantai tunggal dari asam amino 190 dengan dua jembatan disulfid. Protein ini 96% homolog dengan hormon pertumbuhan. HPL juga dikenal sebagai human chorionic somatotropin (hCS). Selain bermakna secara struktural homologi , hPL memiliki aktivitas somatotrofik hormon pertumbuhan kurang dari 3%. Pada penelitian terhadap binatang, telah ditemukan untuk menampilkan 50% dari aktivitas laktogenik dari prolaktin (PRL). HPL disintesis oleh lapisan sinsitiotrofoblas dari plasenta. Tidak hanya dapat dideteksi dalam urin dan serum pada kehamilan normal atau mola, tetapi juga telah dapat ditemukan pada urin pasien dengan tumor trofoblastik dan pada laki-laki dengan choriocarcinoma pada testis. HPL memiliki waktu paruh 14 – 29 menit. Kadar protein ini dalam sirkulasi telah dihubungkan dengan berat janin dan berat plasenta, kadar yang beredar dalam darah meningkat 10 kali atau lebih besar dari trimester pertama ke trimeser ketiga. Tidak ada variasi circadian. Selam 4 minggu terakhir kehamilan, kadar hPL mendatar. HPL dengan cepat menjadi tidak terdeteksi dalam serum dan urin setelah lahirnya plasenta atau evakuasi uterus. 
Kaplan dkk. Telah mempelajari hPL secara luas dan mengajukan bahwa efek metabolik yang utama selama kehamilan adalah menambah kebutuhan nutrisi janin. Sebagaimana menurunnya suplai glukose selama keadaan kelaparan, kadar hPL meningkat, yang akan menstimulasi proses lipolisis. Satu alternatif dari sumber energi ini disiapkan untuk ibu dengan cara meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah. Konsekuensinya, glukose dan asam amino dapat diantarkan bagi janin. Selama keadaan kenyang dan dalam respon terhadap peningkatan kadar glukose, sekresi insulin meningkat dan sekresi hPL menurun, membawa kepada penggunaan glukose dan proses lipogenesis. Karena peningkataan kebutuhan substrat dari janin sebagai suatu perkembangan kehamilan, peran fungsional hPL diperkirakan lebih bermakna dalam trimester kedua dan ketiga Baik radioimunoassay (RIA) dan tes inhibisi hemaglutinasi telah berkembang untuk mengukur jumlah hPL. 

3. Glikoprotein β1 kehamilan spesifik 
Hormon ini memiliki waktu paruh 21 – 60 jam, mewakili protein khusus lainnya yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas. Protein ini memiliki berat molekul 90.000 dan memiliki kandungan karbohidrat sebesar 29,3%. Segera setelah implantasi blastokis, hormon PSBG muncul dalam sirkulasi maternal dan memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan kadar hCG dan hPL sepanjang trimester kedua dan ketiga (gbr. 25-2). Selama trimester kedua dan ketiga pola hPL dan sekresi PSBG berlanjut secara paralel sesuai dengan pertumbuhan massa trofoblastik. Secara fungsional PSBG telah dapat diuraikan. Tes inhibisi hemaglutinasi dan RIA dapat digunakan untuk mengukur protein ini. 
Dengan jelas ketiga protein yang digambarkan sebelumnya memenuhi syarat sebagai petanda trofoblastik dan karena itu dapat digunakan sebagai tambahan dalam mendiagnosis kehamilan. Pada kenyataannya, pemeriksaan hCG secara kualitatif dan kuantitatif menjadi dasar pemeriksaan kehamilan yang diakui saat ini. Penegakan diagnosis kehamilan merupakan hal yang penting dalam membedakan antara satu kehamilan ektopik dengan penyebab lain dari nyeri akut abdomen bawah. Penundaan yang didasarkan atas gejala klinik saja merupakan hal yang umumnya terjadi, dan morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan dengan keterlambatan waktu antara munculnya gejala dan penegakan diagnosis. Perkembangan sistem RIA yang sensitif dan cepat secara klinis berguna dalam penatalaksanaan terhadap masalah ancaman kehidupan yang potensial. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa lebih dari 90% wanita dengan kehamilan ektopik akan menghasilkan hCG dalam darah mereka ketika diukur dengan RIA β-subunit. Dua kelompok peneliti mengukur PSBG dengan RIA pada populasi penderita yang sama dan menemukan akurasi dalam tingkat yang sama. 
Braunstein dan Asch membandingkan nilai prediksi serum hCG, PSBG dan hPL yang diukur dengan menggunakan RIA dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Para peneliti memperlihatkan bahwa secara kuantitatif konsentrasi serum β-hCG maternal yang rendah lebih sensitif dalam deteksi keehamilan ektopik dibandingkan dengan konsentrasi PSBG yang rendah (gbr 25.3). Sebagai tambahan, pengukuran PSBG tidak membuktikan lebih berguna atau lebih benilai efektif dariapada pemeriksaan β-hCG. Satu penelitian awal telah memperlihatkan bahwa sensitivitas pada pemeriksaan hPL tidak cukup untuk mendeteksi jumlah hormon ini dalam serum ibu sebelum periode missed pertama. Tidaklah mengejutkan, Braunstein dan Asch menemukan bahwa pengukuran hPL tidak berguna dalam mendiagnosis banding suatu kehamilan ektopik, sejak konsentrasi yang tidak dapat dideteksi memberikan sedikit informasi selama awal kehamilan. 
Secara ringkas, pengukuran β-hCG serum atau urin dengan RIA memberikan konfirmasi yang sensitif dan spesifik dalam mengeluarkan suatu diagnosis kehamilan ektopik. 

III. Pemeriksaan gonadotropin dalam mendiagnosis kehamilan ektopik 
Penggunaan pemeriksaan hormon dalam kehamilan dimulai lebih dari 50 tahun yang lalu dengan melakukan pendeteksian terhadap hCG urin wanita hamil. Jadi, pemeriksaan ini menjadi memungkinkan untuk menentukan viabilitas dari ancaman terhadap kehamilan melalui kadar gonadotropin yang rendah atau adanya penurunan kadar secara serial jauh sebelum fungsi plasenta berhenti dan sebelum terjadi perdarahan uterus. Perkembangan berikutnya dalam tes kehamilan telah difokuskan pada perbaikan dalam sensitivitas, spesifisitas, kecepatan, dan simplisitas pemeriksaan, dan juga dalam hal pengurangan biaya pemeriksaan. Sejak kehamilan ektopik bertanggungjawab terhadap 11% kematian maternal di Amerika Serikat, tes diagnostik yang akurat dan cepat akan memberikan keuntungan yang bermakna bagi para dokter dan pasien. Sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan daripada kehamilan normal karena jaringan trofoblastik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Sebagai tambahan, karena kesamaan struktural antara LH dan hCG, sistem pemeriksaan dengan spesifisitas maksimum menjadi sangat penting dalam keadaan yang secara potensial mengancam kehidupan ini. 
Teknik Tes kehamilan yang telah berkembang dapat dibagi atas 5 kategori: 1. bioassay, yang menggunakan hewan intak, 2. metoda imunologi, yang menggunakan hemaglutinasi atau latex aglutinasi, 3. RIA, yang memerlukan radiolabeled hormone dan antiserum, 4. radioreceptor assay (RRA), yang memerlukan petanda hormon dengan aktivitas biologi dan reseptor spesifik, dan 5. enzyme linked immunoabsorbant assay (ELISA), yang menggunakan petanda hormon dan antiserum. Perbaikan dalam deteklsi hCG telah memungkinkan dengan melakukan purifikasi hormon ibu dan penguraian dari subunit α-nonspesifik dan hormon subunit β spesifik. Hormon glikoprotein manusia (LH, FSH, TSH, hCG) disusun dari dua subunit yang berbeda dan rantai yang nonkovalen. Subunit α disusun diantara hormon-hormon ini, tetapi komposisi asam amino subunit β berbeda secara bermakna. Informasi ini dibawa oleh subunit-β yang menunjukkan aktivitas hormonal yang spesifik yang diekspresikan dalam hubungan dengan Subunit- α. 

A. Bioassay pada binatang intak 
Generasi pertama dari tes kehamilan diuraikan pada tahun 1927 oleh Ascheim dan Zondek pada tikus, diikuti oleh Friedman pada kelinci dan kemudian oleh Frank dan Berman, dan oleh Kupperman dkk pada tikus. Bioassay ini dilakukan dengan cara menyuntikkan urin atau serum ke dalam tubuh binatang intak. Titik akhir dari pemeriksaaan ini adalah hipertrofi ovarium, hiperemis, dan perdarahan. Sistem ini memerlukan binatang dalam jumlah yang banyak, purifikasi parsial dari sampel, dan waktu penampilan dari beberapa hari sebelum hasil yang didapat memuaskan. Sebagai tambahan, penyakit yang tidak diketahui atau infeksi pada binatang tersebut dapat mempengaruhi akurasi dari tes-tes tersebut. Galli-Mainini mempersingkat dari waktu pemeriksaan dengan mengembangkan suatu bioassay yang menggunakan katak jantan. Penyuntikan serum atau urin yang mengandung hCG menyebabkan keluarnya sperma pada kloaka binatang dalam 1 sampai 5 jam. Biaya yang diperlukan dalam mempertahankan suplai bintang yang diperlukan membuat metode ini menjadi tidak praktis. Secara umum, pemeriksaan bioassay in vivo ini relatif tidak tidak spesifik, tidak sensitif, memerlukan banyak biaya, dan waktu. Konsekuensinya, sistem ini tidak digunakan dalam seri penentuan dari viabilitas trofoblastik. 

B. Metode imunologi 
Karena hCG merupakan hormon protein, maka hormon ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan respon antibodi spesifik ketika disuntikkan kedalam tubuh binatang. Proses purifikasi yang cukup terhadap molekul hCG telah dicapai pada tahun 1060 sehingga satu serum anti hCG yang poten dapat dapat saja meningkat pada kelinci. Pada awal tahun 1970-an generasi kedua dari tes kehamilan dipersiapkan oleh penelitian yang dilakukan Wide dan Gemzel dan Brody dan Carlstrom. Para penulis ini, bekerja secara independen, mengembangkan tes hemaglutinasi dan aglutinasi lateks berdasarkan adanya pengikatan hCG ke sel-sel darah merah dan partikel-partikel lateks. Sensitivitas dari sistem-sistem ini berhubungan dengan bioassay dan menghasilkan keuntungan dengan performans yang sama, satu derajat reprodusibilitas yang tinggi, dan biaya yang rendah dan waktu yang singkat. Pemeriksaan imunologi were hindered, meskipun melaui adanya kesamaan struktur antara LH dan hCG. Sebagai konsekuensinya, sensitivitas tes ini menjadi rendah untuk menghindari positif palsu dalam identifikasi LH. Baik tes-tes kehamilan biologi dan imuniologi menghasilkan sensitivitas yang mencapai 500 – 1000 mIU/mL, dan kehamilan dapat dideteksi dengan akurasi sampai 95% pada 6 minggu setelah periode menstruasi terakhir (gbr 25-4). Sayangnya, sejumlah besar dari kehamilan normal awal (kurang dari 6 minggu), ancaman keguguran dan missed abortion, tumor-tumor trofoblastik, dan paling sedikit 50% dari kehamilan ektopik, kadar hCG-nya kurang dari 500 mIU/mL, tidak akan dapat dideteksi. 

C. Radioimmunoassay 
Dengan berkembangnya teknik RIA pada tahun 1968 dan kemampuan pemurnian yang tinggi dengan menggunakan radioisotop, pemeriksan yang lebih sensitif dapat dilakukan (ambang batas: 10 – 20 mIU/ml hCG). Peningkatan kadar hCG kira-kira dapat diukur sejak 12 hari setelah ovulasi dan mencapai puncaknya antara hari ke-45 dan ke-70. Sekali lagi, RIA menghasilkan nilai yang menjadi gambaran dari LH dan hCG sebagai akibat dari reaksi silang antara kedua glikoprotein ini. Generasi ketiga dari tes kehamilan diperkenalkan oleh Vaitukaitis dkk pada tahun 1972. Mereka melaporkan satu subunit β-hCG RIA yang memungkinkan pengukuran terpisah dari hCG dalam keberadaan LH. Hasil positif palsu encountered pada awal sistem pemeriksaan karena kesamaan struktur antara LH dan hCG dapat dihindarkan melalui pemanfaatan subunit β-hCG RIA. Perlu diperhatikan bahwa meskipun sebagian besar antibodi yang meningkat untuk melawan subunit β-hCG tetap dapat dideteksi hormon yang utuh, yang biasanya merupakan bentuk imunoreaktif utama yang mengalir dalam darah. Sensitivitas dari sistem ini cukup baik untuk membedakan hCG dari kadar LH pada fase folikuler dan fase luteal (ambang batas; < 5 mIU/mL hCG). Kehamilan ektopik atau kehamilan intrauteri dapat dideteksi pada sekitar usia kehamilan 8 – 10 minggu. Bagaimanapun juga, untuk waktu pemeriksaan yang cepat dan uintuk pemeriksaan serial, teknik ini tidak begitu praktis, sejak diperlukannya waktu inkubasi selama 36 jam. 
Untuk mengatasi masalah waktu inkubasi yang lama, sejumlah modifikasi diajukan. Pada awalnya, usaha untuk mengurangi waktu sering disertai dengan pengurangan sensitivitas, spesifisitas, dan reprodusibilitas. Beberapa sistem β-hCG RIA yang baru-baru ini dapat digunakan, menggabungkan derajat sensitivitas yang tinggi dengan performans yang cepat. Tes kualitatif RIA pada urin atau serum dapat membantu para dokter dengan hasil pemeriksaan yang didapat dalam 30 menit, dengan insidens negatif palsu kurang dari 2% (ambang batas: 20 – 50 mIU/mL). Sistem kuatitatif memerlukan waktu yang lebih banyak karena masa inkubasi memanjang tetapi dapat dicapai sensitivitas hingga 100% (ambang batas: <11,5 mIU/mL hCG). 

D. Radioreceptor assay 
Pada tahun 1974, Saxena dkk. Memperkenalkan RRA untuk pemeriksaan hCG yang mengukur molekul secara keseluruhan yang berbatasan dalam in vitro ke sisi reseptornya. Reseptor dalam membran plasma dari corpus luteum bovine menyediakan satu ikatan protein biospesifik untuk secara biologis molekul hCG yang aktif dan intak. Reseptor tidak mengenal subunit B-hCG. Satu keuntungan RRA dibandingkan RIA adalah waktu performans yang cepat. RRA dapat menjadi komplit dalam 1 jam dengan sensitivitas komparabel. Sedangkan kerugian utama dari sistem reseptor ini adalah ketidakmampuan untuk membedakan LH dari hCG. Berdasarkan hal ini, sensitivitas tes yang bersifat komersil dapat digunakan secara cepat telah adjusted ke tingkat yang cukup tinggi untuk mengeluarkan Konsentrasi LH yang normalnya ditemukan selama pertengahan siklus fase preovulasi LH surge dan tingkat konsentrasi LH yang tinggi ditemukan pada wanita postmenopause (gbr 25-4). Meskipun RRA memiliki sensitivitas yang inherent dapat dibandingkan dengan subunit β-hCG RIA (ambang batas: 1 – 5 mIU/mL hCG), yang sangat berguna bagi deteksi awal kehamilan ektopik yang dapat terganggu oleh interfering levels LH endogen. 

E. Enzyme-linked Immunoabsorbant Assay 
ELISA baru-baru ini merupakan satu prosedur tes kehamilan yang sangat populer. Satu antibodi monoklonal yang spesifik dibuat oleh teknologi sel hibrid is employed. Satu enzim (daripada satu campuran radioaktif, seperti pada RIA) mengidentifikasi antigen suatu substansi yang diukur. Reaksi perubahan warna yang sederhana dipacu oleh enzim, yang dapat interpretasikan dengan mata atau spektrometer, merupakan titik akhir dari tes ini. Ambang batas dari detreksi hCG dilaporkan berada dalam rentang 25 – 50 mIU/mL. Peranan ELISA, sebagai tes skrening awal dalam membedakan antara kehamilan ektopik dan keadaan akut ginekologi lainnya yang telah diteliti. Pada pertengahan tahun 1970-an bioassay in vitro dikembanghkan berdasarkan produksi testosteron oleh sel-sel interstisial tikus dalam respon terhadap perangsangan LH atau hCG. Sistem ini sedikit tidak praktis, sesitivitas yang tinggi dan determinasi yang akurat dari aktivitas gonadotropin dibandingkan terhadap bioassay in vivo yang lebih awal. Modifikasi terbaru dari sistem ini menghasilkan satu pemeriksaan hCG dengan ambang batas 0,065 mIU/mL. 

Meskipun pola sekresi dari bioassay hCG selama kehamilan telah ditemukan sama dengan pola hormon imunoasssay, konsentrasi dari pembentuk biasanya lebih besar dibandingkan yang diukur kemudian. Penjelasan mengenai pengamatan ini masih kabur. Telah diusulkan, meskipun, bahwa perbedaan antara bioaktivitas dan imunoaktivitas hCG dalam serum mungkin disebabkan oleh perbedaan alami dari sisi conformation hormon yang dikenali oleh sel target dan antisera, masing-masing. Perbedaan ini secara klinik tidak bermakna dalam setting dari satu kemungkinan kehamilan ektopik. Lebih kurang 24 jam diperlukan untuk melengkapi bioassay sensitif exquisitely ini. Sebagai gambaran dari waktu performans yang panjang dan availabilitas yang terhambat, teknik ini akan menyisakan satu alat penelitian yang bernilai tetapi tidak disukai sebagai suatu metode yang praktis dalam tes kehamilan. 
Sebagaimana yang telah ditunjukkan lebih awal, kejadian dari laju sekresi subunit hCG yang tidak seimbang selama kehamilan meyediakan satu rasionalisasi bagi pengamatan terhadap kedua subunit α dan kadar hCG dalam gangguan obstetrik dan ginekologi. Barnea dkk. Mengusulkan bahwa kadar α-hCG merupakan tanda yang sensitif bagi kesejahteraan plasenta pada awal kehamilan. Dalam pertunjukan retrospektif, mereka mengukur α-hCG dengan RIA dalam sampel serial dari 38 wanita dengan kehamilan ektopik yang terbukti secara histologi dan 27 wanita dengan kehamilan intrauteri. Penulis ini memperlihatkan bahwa peningkatan dalam α-hCG antara 5 – 10 minggu secara bermakna lebih tinggi pada kelompok former 7 kali vs 0,6 kali). Telah dianggap bahwa terjadi kerusakan dalam kemampuan dari trofoblas yang berimplantasi ektopik untuk mensintesis β-hCG tetapi bukan α-hCG. Konsekuensinya, α-hCG meningkat dalam hCG yang low intact, fungsi trofoblas yang aberans mungkin pertama-tama ditandai oleh peningkatan kadar α-hCg. Pengukuran α-hCG dalam hubungan dengan determinasi hCG dapat dibuktikan dengan baik menjadi alat diagnostik yang bernilai dalam evaluasi awal kehamilan. 

IV. Kombinasi penggunaan ultrasonografi dan pemeriksaan kuantitatif gonadotropin korionik manusia subunit β Pemeriksaan ultrassonografi pada pelvis digunakan secara luas untuk menilai secara klinis pasien-pasien yang dalam keadaan stabil diduga menderita kehamilan ektopik. Sulit sekali untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik yang positif dengan ultrasonografi, meskipun begitu ultrasonografi sering lebih efektif dalam mengeluarkan diagnosis ini melalui memperlihatkan suatu kehamilan ynag intrauteri. Kadar dkk. Bekerja dengan ultrasonografi gray-scale dengan satu pemeriksaan kuantitatif RIA terhadap β-hCG dan menemukan bahwa kantong kehamilan dari suatu kehamilan normal menjadi dapat dideteksi apabila kadar hCG diatas 6000 – 6500 mIU/mL (Tabel 25-1). Penemuan mereka menunjukkan bahwa dengan tidak ditemukannya kantung kehamilan intrauteri, nilainya menjadi rendah untuk dapat dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis. Satu kantung kehamilan intrauteri, meskipun diperlihatkan dalam hubungan dengan nilai hCG yang dibawah zona diskrimatory menunjukkan kecenderungan yang tinggi terjadi kehamilan yang abnormal. , yaitu missed abortion atau kehamilan ektopik (tabel 25-2). Lebih jauh lagi, dengan tidak adanya kantung kehamilan intrauteri, nilai hCG yang melebihi zona diskriminatory memberi kesan suatu kehamilan ektopik. 
Kerja tambahan yang dilakukan kelompok-kelompok peneliti ini adalah mengantarkan penggunaan determinasi hCG kuantitatif serial dalam penilaian terhadap pasien-pasien yang stabil. Telah diperlihatkan oleeh peneliti lain bahwa angka positif palsu paling sedikit 20% dapat diharapkan apabila satu kehamilan ditetapkan sebagai kehamilan yang abnormal atas dasar satu nilai hCG, bahkan apabila tanggal ovulasi diketahui. Kadar dkk. Menemukan bahwa 85% atau lebih dari kehamilan normal, kadar hCG serum meningkat sedikitnya 66% dalam masa 48 jam. Dengan menentukan persentase peningkatan hCG diatas 48 jam, laparoskopi selektif dapat dikerjakan pada wanita-wanita yang mengalami penurunan atau peningkatan yang subnormal dari kadar hCG. Kerugian dari pendekatan ini adalah bahwa pembedahan akan tertunda sampai batas 48 jam pada 13% pasien dengan kehamilan ektopik. Penundaan ini tidak indefinite, meskipun. Sekali serum hCG melampaui 6500 mIU/mL, pemeriksaan ultrasonografi ulangan akan memperbaiki diagnosis. 
Penanganan pada pasien yang diduga menderita kehamilan ektopik dengan kondisi yang stabil memerlukan tes kehamilan yang sensitif dan kuantitatif. Sensitivitas dari pemeriksaan membantu dokter dalam mengeluarkan diagnosis apabila hasil yang didapat negatif. Ultrasonografi merupakan alat yang bernilai diagnosis tinggi apalagi dikombinasikan dengan pemeriksaan kasar hCG kuantitatif. Pemeriksaan serial memberikan para dokter satu alternatif untuk pembedahan ketika diagnosis tidak dapat ditegakkan secara ultrasonografi dan ketika parameter lainnya seperti pemeriksaan fisik, kuldosintesis, dan kadar hematokrit, tidak mengizinkan intervensi segera. 

V. PENATALAKSANAAN 
A. Pembedahan 
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2. reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba. 

1. Salpingotomi linier 
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. 
Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa. 
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. 
 Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan. 

2. Reseksi segmental 
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnification atau mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan. 
3. Salpingektomi 
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitoniumj yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. 
Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan  menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum. 

B. Medisinalis 

Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan. 
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. 
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. 
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG  berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. 
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+). 

VI. RINGKASAN 
Kehamilan ektopik adalah setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. 
Tempat tersering mengalami implantasi ekstrauteri adalah pada tuba Falopii (95%). Secara endokrinologis tuba dipengaruhi hormon steroid ovarium, yaitu yang paling menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4). Hormon steroid ovarium ini mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik, perubahan dalam sintesis prostaglandin, dan pengaruh langsung pada myosalping. 
Saat ini telah dikembangkan pemeriksaan kehamilan yang sensitif dalam mendiagnosis kehamilan ektopik. Ada tiga hormon protein yang dapat dipakai untuk mendeteksi suatu kehamilan dan dapat dipakai dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Dalam hal ini sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan karena jaringan trofobalstik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Pengembangan selanjutnya lebih ditujukan pada pendeteksian kadar hCG baik dalam urin atau serum. Beberapa teknik pemeriksaan kehamilan yang telah berkembang adalah bioassay, metoda imunologi, RIA, RRA, dan ELISA. Kombinasi pemeriksaan kehamilan  dengan ultrasonografi memberikan nilai diagnostik yang tinggi sehingga diagnosis suatu kehamilan ektopik dapat cepaat ditegakkan. 
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan USG transvaginal memudahkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Dengan diagnosis dini tersebut maka penatalaksanaan kehamilan ektopik telah bergeser dari mengurangi mortalitas menjadi mengurangi morbiditas dan mempertahankan fertilitas. Diagnosis dini ini memungkinkan kita melakukan penatalaksanaan ekspektatif atau pembedahan konservatif pada pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu. Dalam hal ini kemoterapi dengan methotrexate menjadi pilihan terapi untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. 

VII. RUJUKAN 
1. Damario MA, Rock JA. Ectopic pregnancy. In: Rock JA, Thompson JD. Te Linde’s operative gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincot-Raven, 1997: 501-527 
2. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic pregnancy: Clinical gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1999: 1149-1167 
3. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Endocrinology of pregnancy: Clinical gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1999:275-335 
4. Doyle MB, DeCherney. Diagnosis and management of tubal disease. In: Carr BR, Blackwell RE. Textbook of reproductive medicine. 1st ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1993:507-516 
5. Symonds EM. Complication of early pregnancy: abortion, extrauterine pregnancy and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and gynaecology. 2nd ed. Churchill Livingstone,1992: 88-92 
6. Hutchinson-Williams KA, DeCherney AH. The endocrinology of ectopic pregnancy. In: Endocrine disorders in pregnancy. 3rd ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1986:437-450 
7. Chung pun T. Ectopic pregnancy. JPOG 2001;27:17-20 
8. Basuki B, Saifuddin AB. Ectopic pregnancy and estimated subsquent fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia 1999;23:212-218 
9. Basuki B. Duration of current IUD use and risk of ectopic pregnancy. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia 1999;23:82-87 
10. Jaffe RB. Protein hormones of the placenta, decidua, and fetal membranes. In: Yen SSC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders,1986: 758-769 
 11. Stovall TG, McCord ML. Early pregnancy loss and ectopic pregnancy. In Berek JS, Adhasi EY, Hillard PA. Novak’s gynecology. 12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 487-524 
12. Taber BZ. Manual of gynecologic and obstetric emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company,1979:311-333 
13. Levine D. Ectopic pregnancy. In: Callen PW. Ultrasonography in obstetric and gynecology. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.,2000: 912-934 
14. Barnhart K, Esposito M, Coutifaris C. An update on the medical treatment of ectopic pregnancy. In: Current reproductive endocrinology. Obstet and Gyn Clin of North America 2000;27: 653-667 
15. Kadar N, Caldwell BV, Romero R. A method of screening for ectopic pregnancy and its indication. Obstet Gynecol 1981;58: 162 
16. Aspillagra MO, Whittaker PG, Grey CE, et al. Endocrinologic events in early pregnancy failure. Am J Obstet Gynecol 1983;147:903
17. http://beri-beri.com/

Pengaruh Konsumsi Obat Terhadap Janin

Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut,
1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain,
  • Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).
  • pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.
  • pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA-USA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat dikategorikan sebagai berikut (Australian Drug Evaluation Commitee).
  • Kategori A:

Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat.
  • Kategori B:

Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:
B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori ini.
B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
  • Kategori C:

Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik
semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh
adalah analgetika-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
  • Kategori D

Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.
  • Kategori X
Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.

PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT SELAMA PERIODE KEHAMILAN
1. Antibiotika & antiseptika
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini mlebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hampir semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapai semaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.

1.a. Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
-  Ampilisin:
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan.
Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian
penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.

-  Amoksisilin :
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.

1.b. Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.

1.c. Tetrasiklin:
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.

1.d. Aminoglikosida
Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.

1.e. Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.

1.f. Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.

1.g. Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.

1.h. Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.

1.i. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.

2. Analgetika
Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.

2.a.Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe.
Metadon:
Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari

Petidin
Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah dibanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.

2.b. Analgetika-antipiretik
Parasetamol:
Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan.
Antalgin:
Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.

2.c. Antiinflamasi non-steroid
Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.

3. Antiemetik
Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.

4. Antiepilepsi
Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirku janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selama kehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongendital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa kehamilannya.
Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat selama masa kehamilannya.

5. Antihipertensi
Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
- Golongan penyekat adrenoseptor beta
Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.
- Vasodilator
Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa
pada bayi baru lahir.
- Golongan simpatolitik sentral:
Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:
  1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.
  2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.
  3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.
  4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.
  5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.

DAFTAR PUSTAKA (Ada di Bagian Farmakologi Klinik FK-UGM)
Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian Goverment Publishing Service, Canberra.
Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California.
Speight TM (1987) Avery’s Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rd edition.ADIS press,Auckland.
Suryawati S et al (1990), Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium Farmakologi Klinik FK-UGM, Yogyakarta
http://beri-beri.com/

Pengetahuan Ibu Primigravida Trimester III tentang Tanda-tanda Persalinan

Persalinan merupakan proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain. Proses persalinan bisa jadi momok menakutkan bagi ibu hamil, sehingga jangan sampai proses tersebut diperburuk oleh kurangnya pemahaman mengenai tanda awal persalinan. Setiap trisemester pada masa kehamilan, memiliki proses tersendiri.
Mengetahui tanda-tanda persalinan merupakan hal yang penting yang perlu dimiliki oleh setiap ibu hamil. Hal ini bertujuan untuk mendeteksi adanya komplikasi yang akan terjadi pada saat persalinan nantinya, misalnya KPD, pre eklampsi, persalinan macet dan lain-lain, sehingga akan tercipta persalinan yang normal, aman bagi ibu dan bayinya.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapat pengetahuan ibu primigravida trimester III tentang tanda-tanda persalinan di BPS CH. Sudilah di Ganjar Agung tahun 2009. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu primigravida trimester III. Sedangkan objek penelitian adalah pengetahuan mengenai tanda-tanda persalinan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan sampel keseluruhan ibu primigravida trimester III di BPS CH Sudilah Ganjar Agung Kota Metro pada Juni 2009 berjumlah 21 orang. Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode angket dan alat ukur berupa kuisioner yang langsung diberikan pada responden.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa pengetahuan ibu primigravida trimester III tentang tanda-tanda persalinan di BPS CH. Sudilah Ganjar Agung tahun 2009 adalah dari 21 orang ibu primigravida TM III, 2 orang ibu memiliki pengetahuan yang baik (9,52%), 5 orang ibu dengan pengetahuan yang cukup (28,82%), da 14 orang dengan pengetahuan kurang (66,67%).
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah tingkat pengetahuan ibu primigravida trimester III tentang tanda-tanda persalinan di BPS CH. Sudilah di Ganjar Agung tahun 2009 secara umum adalah kurang.

Kata Kunci : Pengetahuan, ibu, primigravida, TM III, tanda-tanda persalinan

DAFTAR ISI:

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka 
1. Pengetahuan
2. Ibu Primigravida
3. Kehamilan
4. Trimester dalam Kehamilan
5. Persalinan
6. Tanda-tanda Persalinan
7. His Palsu
8. Hal-hal Seputar Persalinan
B. Kerangka Konsep Penelitian
C. Definisi Operasional

BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Variabel Penelitian
D. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
E. Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1.  Jenis Pelayanan
2.  Sarana Ketenagaan
B. Hasil Penelitian
C. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ANDA TERTARIK DENGAN JUDUL KTI DI ATAS ....... 
SILAHKAN ANDA PESAN KESELURUHAN ISI KTI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komplikasi Persalinan Remaja

Organisasi Save The Children menyatakan sekitar satu dari sepuluh bayi, dilahirkan oleh ibu remaja. Organisasi ini mengumpulkan data-data dari sekitar 100 negara dan terlihat bahwa ibu-ibu muda ini beresiko meninggal dunia saat mereka hamil atau melahirkan. Banyaknya masalah saat kehamilan dan kelahiran menjadi penyebab angka kematin remaja putri di negara-negara berkembang.
WHO memperkirakan, risiko kematian akibat kehamilan di usia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi dibanding perempuan 20-24 tahunan. Sementara risiko pada remaja 10-14 tahun, lima kali lebih tinggi ketimbang perempuan usia 20-tahunan.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan berhubungan erat dengan komplikasi persalinan usia remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Sukadamai Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan sampel adalah seluruh dari jumlah populasi ibu bersalin usia remaja (15-21 tahun) yang melakukan persalinan di Puskesmas Sukadamai Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2009 (penelitian populasi). Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan data sekunder yang ada di puskesmas Sukadamai Lampung Selatan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa umur kehamilan terbanyak yang mengalami komplikasi pada persalinannya adalah dengan umur kehamilan < 37 minggu, sebanyak 16 orang (53,33%), paritas terbanyak yang mengalami komplikasi pada persalinannya adalah dengan paritas primi, sebanyak 26 orang (86,67%), dan dengan pemeriksaan kehamilan yang tidak lengkap sebanyak 24 orang (80%).
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi persalinan pada usia remaja di wilayah puskesmas sukadamai lampung selatan antara lain umur kehamilan < 37 minggu, paritas primipara, serta ANC yang  tidak lengkap.

Kata Kunci : Faktor Komplikasi Persalinan, Usia Remaja


DAFTAR ISI :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Komplikasi Persalinan
2. Komplikasi Persalinan Pada Usia Remaja
3. Faktor yang Berhubungan dengan Komplikasi pada Persalinan Usia Remaja
B. Kerangka Konsep Penelitian
C. Definisi Operasional

BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Waktu dan Lokasi Penelitian
D. Pengumpulan dan Analisa Data
1.  Pengolahan Data
2.  Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
1. Keadaan Geografi
2. Keadaan Topografi
3. Keadaan Demografi
4. Sosial Ekonomi
B. Hasil Penelitian
C. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ANDA TERTARIK DENGAN JUDUL KTI DI ATAS ....... 
SILAHKAN ANDA PESAN KESELURUHAN ISI KTI

Pengetahuan Remaja Mengenai Bahaya Merokok

Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang – orang disekitarnya.
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan temanteman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok. (Al Bachri dalam Widianti Efri, 2007)
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang bahaya merokok di Madrasah Tsanawiyah Nurul Ulum Kota Gajah pada Tahun 2009. Subjek dalam penelitian ini adalah Remaja Madrasah Tsanawiyah Nurul Ulum Kota Gajah dan objek penelitian adalah pengetehuan tentang bahaya merokok.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pengambilan sampel dengan tehnik quota sampling dan diperoleh jumlah sampel yang diambil sebanyak 232 orang remaja. Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode angket dengan alat ukur berupa lembar kuisioner yang diberikan langsung kepada responden.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 232 responden yang diambil dari seluruh remaja di MTs Nurul Ulum, diperoleh hasil tingkat pengetahuan remaja putri tentang bahaya merokok yang terbesar adalah pada tingkat pengetahuan yang kurang sebanyak 172 orang remaja (74,14%), dan dengan tingkat pengetahuan terendah tidak baik sebanyak 5 orang (2,16%).
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini pengetahuan remaja tentang bahaya merokok  di MTs Nurul Ulum secara umum adalah kurang.

Kata Kunci : Pengetahuan, Remaja, Bahaya Merokok

DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Ruang Lingkup Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
2. Tingkat Pengetahuan
B. Rokok
C. Bahaya Merokok
D. Kerangka Konsep
E. Definisi Operasional 

BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Populasi dan Sampel
C. Waktu dan Tempat Penelitian
D. Variabel Penelitian
E. Instrumen Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
F. Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.  Identitas Sekolah
2.  Visi, Misi dan Tujuan MTs
3.  Tenaga Pengajar
4.  Sarana dan Prasarana
5.  Data Keadaan Siswa
6.  Struktur Organisasi
B. Hasil Penelitian
C. Pembahasan 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ANDA TERTARIK DENGAN KTI DIATAS.....!
SILAHKAN ANDA PESAN KESELURUHAN ISI KTI