Minggu, 27 Juni 2010

Pelaksanaan “7T” di Puskesmas

Pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih diwarnai oleh rawannya derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompok yang paling rawan yaitu ibu hamil, ibu bersalin dan bagi pada masa perinatal.  Hal ini ditandai oleh tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi (Depkes, 2009).
Sebagai tolok ukur keberhasilan kesehatan ibu maka salah satu indikator terpenting untuk menilai kualitas pelayanan obstetri dan ginekologi di suatu wilayah adalah dengan melihat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Balita (AKB) di wilayah tersebut. Di Indonesia, berdasarkan perhitungan oleh BPS diperoleh AKI tahun 2007 sebesar 248/100.000 KH. Jika dibandingkan dengan AKI tahun 2005 sebesar 307/100.000 KH, AKI tersebut sudah jauh menurun, namun masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (102/100.000 KH) sehingga masih memerlukan kerja keras dari semua komponen untuk mencapai target tersebut (Depkes, 2009).
Kebijakan Depkes dalam upaya mempercepat penurunan AKI pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat pilar Safe Motherhood”.   Namun, untuk mendukung upaya mempercepat penurunan AKI diperlukan penajaman sasaran agar kejadian “4 terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, terlalu banyak anak)” dan kehamilan yang tidak diinginkan dapat ditekan serendah mungkin.  Akses terhadap pelayanan antenatal sebagai pilar kedua cukup baik, yaitu 87% pada tahun 2007; namun mutunya masih perlu ditingkatkan terus hasil ini masih lebih rendah dari target yang ditetapkan secara nasional pada tahun 2008 yaitu tinggi K I minimal 100%, K 2 90%. Persalinan yang aman sebagai pilar ketiga yang dikategorikan sebagai pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pada tahun 2007 baru mencapai 69%. Untuk mencapai AKI sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup diperlukan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar 80%. Cakupan pelayanan obstetri esensial sebagai pilar keempat masih sangat rendah, dan mutunya belum optimal (Depkes, 2009).
Pelayanan antenatal diberikan oleh petugas kesehatan baik yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Pelayanan antenatalpun diberikan di Puskesmas-Puskesmas yang tersebar di Indonesia.   Saat ini dalam pelaksanaannya, Puskesmas menghadapi banyak masalah. Sejalan dengan otonomi daerah, Puskesmas diupayakan direvitalisasi, antara lain lewat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128 Tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Walujani M, 2005).
Puskesmas dalam memberikan pelayanan antenatal hendaknya menggunakan asuhan standar minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1999.   Standar minimal ibu hamil “7T” di Puskesmas tersebut yaitu Timbang berat badan, ukur Tekanan darah, ukur Tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi TT, dan pemberian Tablet Fe, dalam rangka persiapan rujukan (Walujani M,.2005 ).

Kunjungan Lansia

Pembangunan dibidang kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan nasional. Arahnya yaitu untuk mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional dan untuk mencapai Indonesia sehat secara keseluruhan pada tahun 2010 (Depkes RI, 2003).
Peningkatan derajat kesehatan ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia dari usia 52 tahun pada tahun 1980 menjadi usia 67 tahun pada tahun 2000 dan bila data ini diproyeksikan pada tahun-tahun yang akan datang, terlihat bahwa populasi lanjut usia di Indonesia akan meningkat dalam jumlah besar (DepKes RI, 2002).
Undang-undang kesehatan No.23 pasal 4 tentang hak dan kewajiban dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, tidak terkecuali orang yang berusia lanjut salah satu hasil pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah meningkatnya umur harapan hidup. Sejalan dengan hal tersebut akan meningkat pula kelompok lansia di masyarakat. Berdasarkan sensus Biro Pusat Statistik tahun 1990 usia harapan hidup di Indonesia tahun 1971 untuk wanita 48,3 tahun untuk pria  46,6 tahun. Sedangkan tahun 1991 – 1995 diperkirakan meningkat menjadi 63,3 tahun untuk pria dan  66,6 tahun untuk wanita (Depkes RI, 2002).
Lansia yang jumlahnya semakin meningkat ini secara alami akan mengalami perubahan fisik, mental, dan psikososialnya. Menurut Survey Rumah Tangga (RT) tahun 1980 angka kesakitan pada usia 55 tahun ke atas adalah 25,75 dan diharapkan pada tahun 2000 angka ini menurun menjadi 12,3% Survei Kesehatan Nasional (SKN). Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 didapat angka kesakitan pada usia 55 tahun ke atas adalah 15,1% (Depkes RI, 2002).
Pertambahan jumlah lanjut usia di indonesia diprediksikan akan sama dengan balita, yaini kira-kira 19 juta jiwa atau 8,5% jumlah penduduk Indonesia dan akan diperkirakan akan mencapai 11% pada tahun 2020. Keadaan ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap struktur sosial, ekonomi dan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia (Nurkusuma, 2003).
Setelah memasuki masa lansia umumnya orang akan mulai dihinggapi adanya  kondisi  fisik yang bersifat patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi  menurun, gigi banyak yang tanggal, kulit semakin keriput tulang makin rapuh (Zainuddin, 2004)
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan sercara berlipat ganda (multiple pathology). Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi tubuh, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain (Zainuddin, 2004).
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu penyelarasan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat melelahkan. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang (Aziz, 1999).
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut  karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek psikososial dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Azis, 1999).

Faktor-Faktor Penyebab Kurang Energi Kronis (KEK) Pada Ibu Hamil

Berbagai hasil kajian di Indonesia telah mengakui pentingnya peran seorang ibu dalam membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pengaruh ibu terhadap kehidupan seorang anak telah dimulai selama hamil, selama masa bayi dan berlanjut terus sampai anak memasuki usia sekolah. Pada waktu hamil gizi sangat penting untuk pertumbuhan janin yang dikandung. Gizi ibu hamil yang baik diperlukan agar pertumbuhan janin berjalan pesat dan tidak mengalami hambatan. Ibu hamil dengan keadaan kurang gizi yang kronis, mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes RI, 1996).
Status gizi ibu hamil merupakan salah satu indikator dalam mengukur status gizi masyarakat. Jika masukan gizi untuk ibu hamil dari makanan tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi defisiensi zat gizi. Kekurangan zat gizi dan rendahnya derajat kesehatan ibu hamil masih sangat rawan, hal ini ditandai masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan oleh perdarahan karena anemia gizi dan Kekurangan Energi Kronik (KEK) selama masa kehamilan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII yang berlangsung di Jakarta 17-19 Mei 2004 menyebutkan bahwa salah satu masalah gizi di Indonesia adalah bahwa masih tingginya Angka Kematian bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) dan balita merupakan akibat  masalah gizi kronis (Moehji, 2003 : 14).
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32 per 1000 Kelahiran Hidup. Menurut data dari Bahan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BBKBN) Provinsi Lampung menyatakan Angka Kematian Ibu di Lampung masih tinggi, Dalam kurun waktu 3 tahun (2003-2005) AKI di Provinsi Lampung mencapai 321 kasus, sedangkan angka kematian bayi (AKB) berjumlah 844 kasus (Dinas Kesehatan Prov. Lampung, 2007).
Berdasarkan data Human Development Indeks (HDI) atau indeks pembangunan manusia tentang AKI di Provinsi Lampung berada pada level yang memprihatinkan. Seharusnya AKI di Lampung di bawah AKI rata-rata nasional karena target penurunan AKI nasional dari 262 menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Sedangkan AKI di Lampung Timur pada tahun 2007 mencapai 21 per 100.000 Kelahiran Hidup (Dinas Kesehatan Kab. Lamtim, 2007).
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya, antara lain : anemia, perdarahan dan berat badan ibu tidak bertambah secara normal, kurang gizi juga dapat mempengaruhi proses persalinan dimana dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, premature, perdarahan setelah persalinan, kurang gizi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, cacat bawaan dan berat janin bayi lahir rendah (Zulhaida, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kurang Energi Kronis (KEK) pada batas LILA 23,5 cm belum merupakan resiko untuk melahirkan Barat Badan Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan ibu hamil dengan Kurang Energi Kronis (KEK) pada batas LILA < 23 cm mempunyai resiko 2 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai Lingkar Lengan Atas (LILA) lebih dari 23 cm. Berdasarkan penelitian Rosmeri (2000) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki status gizi kurang (kurus) sejak sebelum hamil mempunyai resiko lebih tinggi lagi, yaitu 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (Lubis, 2003).
Status gizi ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor karena pada masa kehamilan banyak terjadi perubahan pada tubuhnya yaitu adanya peningkatan metabolisme energi dan juga berbagai zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungannya. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah jumlah makanan, beban kerja, pelayan kesehatan, status kesehatan, pendidikan, absorbsi makanan, paritas dan jarak kelahiran, konsumsi kafein, dan konsumsi tablet besi (Soetjiningsih,1995: 103). Apabila dalam masa kehamilan tingkat status gizinya rendah, maka akan mengakibatkan kehamilan yang beresiko untuk mengurangi resiko tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan faktor penyebab terjadinya status gizi buruk terutama Kurang Energi Kronik (KEK) (Lubis, 2003).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55 % dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan. Dan kebanyakan dari kasus tersebut karena ibu Kurang Energi Kronis (KEK) yang dapat menyebabkan status gizinya berkurang (WHO, 2002). 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komplikasi Persalinan

Tata hukum perkawinan di Indonesia, seperti tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 pasal 7 mengizinkan terjadinya perkawinan jika sekurang-kurangnya pihak laki-laki telah berusia 19 tahun dan pihak perempuan berusia 16 tahun. Hal ini sering dipergunakan sebagai “pembenar” pelaksanaan perkawinan usia remaja perempuan di bawah 19 tahun pada sebagian masyarakat. Di lain pihak, pada sebagian masyarakat lain, kemajuan teknologi informasi global dengan akses tak terbatas pada media pornografi, mempersulit remaja yang sedang mengalami perubahan fisik bersamaan dengan datangnya masa pubertas. Banyak yang tidak dapat menahan ketertarikan untuk mencoba hubungan seksual dan mulai melakukan hubungan seksual pra-nikah walau pernikahan dilangsungkan pada usia lebih dewasa. Ironisnya, walau hal ini sifatnya sama bagi semua remaja, dampaknya lebih sulit bagi kaum perempuan (Affandi, 1999).
Organisasi Save The Children menyatakan sekitar satu dari sepuluh bayi, dilahirkan oleh ibu remaja. Organisasi ini mengumpulkan data-data dari sekitar 100 negara dan terlihat bahwa ibu-ibu muda ini beresiko meninggal dunia saat mereka hamil atau melahirkan. Banyaknya masalah saat kehamilan dan kelahiran menjadi penyebab angka kematin remaja putri di negara-negara berkembang. Data yang dihimpun organisasi Save the Children menyebutkan remaja putri yang berusia antara 10 hingga 19 tahun, mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar meninggal dunia saat mereka hamil atau melahirkan, bila dibanding perempuan berusia diatas 20 tahunan  (BKKBN Prov. Lampung, 2008).
WHO memperkirakan, risiko kematian akibat kehamilan di usia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi dibanding perempuan 20-24 tahunan. Sementara risiko pada remaja 10-14 tahun, lima kali lebih tinggi ketimbang perempuan usia 20-tahunan. Penyebab meninggalnya sang ibu muda biasanya komplikasi saat persalinan, akibat naiknya tekanan darah melampaui batas normal, diikuti kejang-kejang, persalinan macet karena besar kepala anak tidak terakomodasi rongga panggul yang belum berkembang sempurna (Anonim, 2008).
Angka kematian ibu di Indonesia belum memiliki data statistik vital yang langsung dapat menghitung Angka Kematian Ibu (AKI). Estimasi AKI dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) diperoleh dengan mengumpulkan informasi dari saudara perempuan yang meninggal semasa kehamilan, persalinan, atau setelah melahirkan. Meskipun hasil survei menunjukkan bahwa AKI di Indonesia telah turun menjadi 248 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, hal itu perlu ditafsirkan secara hati-hati mengingat keterbatasan metode penghitungan yang digunakan. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan (UNDP, 2008).
Faktor-faktor usia ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi persalinan dikarenakan semakin muda usia ibu saat terjadi persalinan maka semakin besar kemungkinan terjadi komplikasi akibat panggul ibu yang masih sempit serta alat-alat reproduksi yang belum matur, umur kehamilan yang terlalu muda saat persalinan mengakibatkan bayi yang dilahirkan menjadi premature, status perkawinan ibu mempengaruhi psikologis ibu selama proses kehamilan dan persalinan serta keteraturan dalam memeriksakan kehamilan juga mempengaruhi terjadinya komplikasi saat persalinan sebab apabila terjadi kelainan tidak dapat terdeteksi secara dini.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wanita Menghadapi Premenopause

Peningkatan usia harapan hidup bangsa Indonesia diperkirakan mencapai 70 tahun, meningkat terus seiring dengan perbaikan taraf ekonomi dan derajat kesehatan. Usia harapan hidup wanita relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pria, sehingga akan lebih banyak wanita usia lanjut (wulan) dalam penduduk kelompok lanjut usia (lansia), dengan demikian, akan lebih banyak wanita yang mengalami menopause dengan berbagai permasalahannya (Hanafiah, 1999).
Perubahan yang terjadi pada usia menopause terbagi dalam pre menopause berumur antara 40-50 tahun dan menopause berumur 50-65 tahun. Sebagian besar wanita mulai mengalami gejala menopause pada usai 40-an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun. Usia pre menopause merupakan masa sulit dan rentan dalam kehidupan manusia.. Usia pre menopause adalah peralihan dari masa dewasa kemasa tua, dimana kegelisahan dan kebingungan timbul kembali. Banyak para wanita sukar menerima kenyataan ini bahwa mereka telah memasuki masa tua, walaupun tanggal dan kalender serta bayangan dalam cermin telah mengingatkannya (Hasan, 1996).
Pada tahun 1985 umur harapan hidup wanita Indonesia adalah 52,7 tahun, pada tahun 2000 menjadi mencapai 67 tahun dan pada tahun 2010 sekitar 40 % penduduk Indonesia akan mencapai usia lebih dari 60 tahun dan separuhnya adalah kaum wanita. Bila jumlah penduduk Indonesia 300 juta jiwa (dengan asumsi KB tetap berhasil) maka akan terdapat sekitar 50-60 juta wulan berusia diatas 60 tahun.  Wanita yang berusia lebih dari 60 tahun, hampir 100% telah memasuki masa menopause (Kompas, 2001). Apabila melihat data dari WHO tampaknya ledakan menopause pada tahun-tahun mendatang sulit sekali dibendung. WHO memperkirakan di tahun 2030 nanti ada 1,2 milyar wanita yang berusia 50 tahun.  Sebagian besar dari mereka (sekitar 80 %) tinggal di negara berkembang (Republika, 2001). Usia lanjut di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 5,53% (Depkes RI, 2007) sedangkan di Lampung pada tahun 2007 mencapai 34,56%  di Lampung Timur ada 75.577 jiwa (Depkes Lampung Timur, 2007)
Fakta lapangan menemukan bahwa 75 % wanita yang mengalami menopause akan merasakan berbagai masalah atau gangguan, sedangkan sekitar 25% lainnya tidak mempermasalahkan (Achadiat, 2003). Hal ini menegaskan bahwa umumnya wanita takut menghadapi menopause karena tidak siap menerima kenyataan mengalami menopause, sehingga wanita akan melakukan berbagai cara agar dapat menghambat datangnya menopause. Hal tersebut menyebabkan wanita menjadi cemas, murung, dan menarik diri dari lingkungan sosial ketika mengalami menopause.
Dampak karena tidak siap menerima kenyataan mengalami menopause maka timbul keluhan yang bervariasi tergantung berbagai faktor, sehingga permasalahan pada wanita menopause bervariasi, sebagian berpendapat menopause adalah awal dari kemunduran fungsi kewanitaan secara keseluruhan, yang lain menganggap menopause sebagai bencana di usia senja atau saat yang paling tidak menyenangkan karena datangnya masa menopause ini kadang-kadang akan diikuti dengan perubahan fisik dan psikologis yang menyiksa (Kartono, 1992)
Penelitian Darmasetiawan (1991) tentang sindroma klimakterium di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta, menemukan bahwa keluhan yang diderita wanita menopause yang terbanyak adalah keluhan gejolak panas 93,4 %, gangguan haid 80,3 %, dan perasaan berdebar-debar 63,9 %. Selanjutnya Tina (1999) dari hasil penelitiannya pada wanita Bugis-Makasar keluhan setelah wanita mengalami menopause adalah cairan vagina berkurang 13,8 %, kulit kering 35,6 %, panas dan berkeringat 31,1 % serta sering pusing 53,3 %. Keluhan setelah menopause juga dikatakan oleh Pangkahila (2000) bahwa wanita menopause akan mengalami dyspareunia atau nyeri senggama 67 %, dan 27 % akan menderita vaginismus. Pada umumnya perubahan yang akan tampak langsung pada masa menopause adalah perubahan fisiologis yaitu terjadi penurunan elastisitas pada kulit, wajah dan payudara, vagina, rambut mulai memutih, suara parau, timbul bintik-bintik kecoklatan dan perubahan-perubahan lainnya.
Menurut Primana (1993) meningkatnya jumlah wanita menopause di Indonesia memerlukan upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan agar wanita menopause sehat, produktif dan mandiri. Upaya itu diantaranya pemberian jaminan kesehatan pada wanita usia lanjut, mendekatkan pelayanan pada wanita usia lanjut misalnya mendirikan Posyandu Usila.

Sebenarnya menopause adalah suatu perubahan alamiah yang pasti akan terjadi pada setiap wanita, namun ada faktor-faktor yang terkait dengan gangguan fisik gangguan psikis sehingga sebagian wanita pre menopause yang kurang mengerti tentang menopause, cenderung memandang menopause dari sudut yang negatif, akibatnya mereka diliputi perasaan cemas dan takut ketika menopause.
Menurut Baziat (2002) ada empat cara untuk mengetahui ada tidaknya kecemasan, yaitu secara koginitif, motorik, somatik, dan afeksi. Secara kognitif, kecemasan dimanifestasikan dalam diri individu menjadi cemas, sulit untuk berkonsentrasi, sulit untuk tidur dan terlalu terpaku pada bahaya yang tidak jelas asalnya. Secara motorik, kecemasan dimanifesatikan ke dalam perilaku gerakan tidak terarah, yang bermula pada gemetaran secara halus kemudian meningkat intensitasnya. Secara somatic, kecemasan dimanifestasikan pernafasan tidak teratur, berdebar-debar, tangan dan kaki dingin, dan sebagainya. Secara afeksi kecemasan dimanifestasikan pada perasaan adanya bahaya yang mengancam dan sangat khawatir dan gelisah yang berlebihan.
Selanjutnya faktor yang memengaruhi wanita pre menopause memenurut Iskandar (1998) dibagi menjadi dua (2) yaitu faktor internal dan eksternal. faktor internal disebabkan oleh perubahan fisik dan kepribadian, faktor eksternal disebabkan dari lingkungan, sedangkan menurut Pitt, B. (1993) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi wanita pre menopause menghadapi menopause terkait dengan gangguan fisik gangguan psikis, usia, peran istri bagi suami dan peran ibu, daya tarik seksual dan penurunan aktivitas seksual, status kerja.

Pengetahuan dan Motivasi Ibu Hamil dalam Pelaksanaan Antenatal Care (ANC)

Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 faktor yakni faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat harus ditunjukan kepada          4 faktor di atas. Indikator kesehatan masyarakat dapat dilihat dari Umur Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Balita (AKBA), Angka Kematian Neonatal (AKN) dan Angka Kematian Ibu (AKI). AKI merupakan angka yang dilihat dari banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau 42 hari sejak terminasi kehamilan yang disebabkan kehamilan dan pengelolaannya, per 100.000 kelahiran hidup. (Depkes, 2006).
Saat ini AKI di Negara-negara berkembang masih terbilang tinggi dimana setiap tahunnya terdapat sekitar 200 juta ibu hamil dan 500 ribu diantaranya akan meninggal akibat penyebab yang berkaitan dengan kehamilan serta 50 juta lainnya akan menderita akibat komplikasi pada kehamilannya (Depkes, 2007).
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 AKI di Indonesia yaitu 116 per 100.000 Kelahiran Hidup. Menurut data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BBKBN) Provinsi Lampung menyatakan Angka Kematian Ibu di Lampung masih tinggi, dalam kurun waktu 3 tahun (2003-2005) AKI di Provinsi Lampung mencapai 321 kasus, sedangkan angka kematian bayi (AKB) berjumlah 844 kasus (Profil Kesehatan Lampung, 2007).
Berdasarkan data Human Development Indeks (HDI) atau indeks pembangunan manusia tentang AKI di Provinsi Lampung berada pada level yang memprihatinkan. Seharusnya AKI di Lampung di bawah AKI rata-rata nasional karena target penurunan AKI nasional dari 262 menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010.
AKI secara langsung di akibatkan oleh perdarahan, gangguan akibat tekanan darah tinggi serta komplikasi dan infeksi pada masa kehamilan. Sementara itu selain karena terlambat dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal, secara tidak langsung AKI juga di sebabkan oleh keterlambatan dalam deteksi bahaya dini selama kehamilan, yang diakibatkan masih rendahnya kunjungan ANC 60,3% dari target nasional sebear 80% pada tahun 2007. Hal ini karena masih banyaknya ibu yang menganggap kehamilan dan persalinan adalah sesuatu yang alamiah sehingga tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan, selain itu juga karena sosial budaya yang menganggap bapak adalah yang paling utama (patriarkat) sehingga masalah kesehatan ibu tidak begitu diperhatikan (www.depkes.go.id). 
Dari laporan 212 Dinas Kesehatan Kabupaten tahun 2002 menunjukkan bahwa cakupan K1 secara Nasional sebesar 86,76% serta cakupan K4 sebesar 79,44%. Bila dibandingkan tahun 2001 angka cakupan K1 mengalami penurunan (dari 90,5%), sedangkan cakupan K4 mengalami sedikit peningkatan (dari 74,25%). Menurut hasil SDKI tahun 2007 memperlihatkan bahwa wanita yang pernah melahirkan 93% wanita hamil menjalani pemeriksaan ANC lengkap sesuai standar KIA, persentase pemeriksaan ANC lebih tinggi didaerah perkotaan (71,7%) dibandingkan daerah perdesaan (21,3%) (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, BPS, 2007).

Penatalaksanaan Menyusui Bayi 0-6 Bulan oleh Ibu

ASI adalah makanan terbaik bagi bayi sampai ia berumur sekitar enam bulan, dan setelah itu makanan lain bisa secara bertahap diper¬kenalkan kepadanya sehingga pada akhir tahun pertama, bayi sudah harus mulai makan makanan yang dimasak bagi seluruh keluarga. (Ramaiah, Safitri, 2006)
Memberikan ASI adalah cara terbaik untuk memberi makanan kepada bayi, memberi ASI juga sangat baik bagi ibu karena tindakan ini dapat mengurangi resiko ibu terhadap beberapa penyakit  seperti kanker payudara dankanker indung telur. Menyusui juga merupakan salah satu cara yang hemat dari pada memberikan susu formula, selain itu menyusui dapat menciptakan ikatan khusus antara ibu dan bayimya (Whalley, Janet, dkk, 2008).
Kunci untuk mulai memproduksi ASI dengan sukses adalah membuat bayi menghisap payudara secara sering dan teratur, berdasarkan kebutuhan, dan dengan posisi yang benar. Ibu harus mulai menyusui dalam waktu setengah jam setelah persalinan normal. Hal yang terpenting bagi ibu untuk merasa yakin bahwa ibu akan mengeluarkan ASI sebanyak yang dibutuhkan bayi. Selama satu atau dua hari pertama, kebutuhan bayi sangat sedikit, yang bisa dipenuhi dengan menghisap putting selama beberapa menit kapan pun bayi ingin menyusui. Produksi ASI dan alirannya akan meningkat perlahan-lahan setelah hari kedua (Savitri Ramaiah, 2006)
Oleh karena itu salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana ibu dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif sampai 6 (enam) bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 (dua) tahun. Sehubungan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan Kepmenkes RI No. 450/MENKES/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi Indonesia. Program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif mempunyai dampak yang luas terhadap status gizi ibu dan bayi.
Mengingat pentingnya pemberian ASI bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasannya, maka perlu perhatian agar dapat terlaksana dengan benar. Mengikuti tehnik menyusui yang benar bermanfaat untuk memastikan bayi memperoleh manfaat terbesar dari menyusui. Adapun faktor kunci dalam menyusui secara efektif diantaranya adalah waktu menyusui, posisi saat menyusui, memperhatikan perlekatan bayi termasuk langkah-langkah yang harus diperhatikan saat menyusui, serta tindakan setelah menyusui yaitu menyendawakan bayi (Ramiah, Savitri, 2006).

Penatalaksanaan 6 Jam Pertama Bayi Baru Lahir Normal

Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai kendala dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya dalam bidang kesehatan. Hal itu tampak antara lain dari masih tingginya kelahiran dan kematian neonatal. Setiap tahun diperkirakan terdapat sejumlah 4.608.000 bayi dilahirkan dan 100.454 bayi diantaranya ternyata meninggal dunia pada neonatal atau sebelum menginjak usia sebulan, dengan kata lain setiap 5 menit satu bayi meninggal oleh berbagai sebab (Depkes RI, 2003). 
Pelayanan kesehatan terutama untuk neonatal oleh tenaga kesehatan masih rendah sehingga keterampilan tenaga kesehatan perlu selalu ditingkatkan, salah satunya adalah menetapkan dan melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, serta menilai hasil yang dicapai dalam menyusun rencana tindakan selanjutnya (Saifuddin, 2002)
Pada dasarnya kurang baiknya penanganan 6 jam pertama pada bayi baru lahir menyebabkan kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup, bahkan kematian. Misalnya sebagai akibat hipotermi pada bayi baru lahir dapat terjadi cold stress yang selanjutnya dapat menyebabkan hipoksia dan mengakibatkan kerusakan otak. Akibat selanjutnya adalah perdarahan otak, syok dan beberapa bagian tubuh mengeras dan keterlambatan tumbuh kembang, contoh lain misalnya kurang baiknya pembersihan jalan nafas waktu lahir dapat menyebabkan masuknya cairan lambung kedalam paru-paru yang mengakibatkan kesulitan bernapas, kekurangan zat asam dan apabila hal ini berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak, dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang (Saifuddin, 2002). 
Berdasarkan penelitian WHO diseluruh dunia, kematian bayi khususnya neonatal sebesar 10.000.000 jiwa per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa angka kematian bayi baru lahir masih sangat tinggi (Manuaba, 1998). 
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)  2002/2003, Angka Kematian Bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Pelaksanaan ”Making Pregnancy Safer (MPS)”, target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian bayi baru lahir menjadi 15 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2004). 
Sebagai indikator derajat kesehatan masyarakat, kematian neonatal pada umur 0-28 hari yang seharusnya 45 per 1.000 kelahiran, tahun 2006 ditemukan 861 kasus. Penyebab kematian bayi di Lampung, disebabkan karena kasus asfiksia dengan jumlah 199 kasus (31%), berat badan lahir rendah sebanyak 226 kasus (36%), tetanus neonatorum sebanyak 2 kasus dan penyebab lain 210 kasus (33%) (Wiwiek.depkes.go.id, 2004).
Ditinjau dari pertumbuhan dan perkembangan bayi, periode neonatal merupakan periode yang paling kritis. Pencegahan terhadap infeksi, mempertahankan suhu tubuh, membebaskan jalan nafas, serta pemberian ASI terutama kolostrum merupakan usaha dalam menurunkan Angka Kematian  Bayi (AKB). Neonatus pada minggu-minggu pertama sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu pada waktu hamil dan melahirkan (Saifuddin, 2002).

Pemrosesan Alat Bekas Pakai pada Proses Persalinan

Dalam rangka pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010, yang menekankan paradigma sehat, berupa orientasi peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan menyeluruh dan terpadu.
Orientasi ini juga berlaku pada kesehatan maternal dan neonatal, pelayanan kontrasepsi dan pencegahan infeksi. Secara khusus pencegahan infeksi semakin kompleks dengan munculnya HIV/AIDS, wabah SARS yang merupakan dampak negatif globalisasi melalui kemudahan informasi, komunikasi dan transportasi yang menembus batas Negara. Di samping itu penyakit infeksi lama seperti tbc, malaria, demam berdarah dan hepatitis yang belum tertangani, juga memerlukan perhatian dan penanganan tepat.
Infeksi juga merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir, sebenarnya dapat dicegah. Dunia internasional saat ini sudah berpedoman kepada Uni¬versal Precaution standard sebagai upaya mengatasi berbagai penyakit infeksi terutama penyakit menular. Namun demikian hal ini masih merupakan masalah utama di hampir seluruh fasilitas pelayanan kesehatan karena dalam mengatasi situasi tersebut dibutuhkan tenaga pelayanan kesehatan yang dapat menunjukkan kinerja yang sesuai dengan standarpelayanan di manapun mereka bekerja atau bertugas. Kinerja yang sesuai dengan standar pelayanan kesehatan juga akan merupakan hal penting dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan tersebut (Prawirohardjo, 2004).
Masyarakat yang menerima pelayanan medis dan kesehatan, baik di ru¬mah sakit atau klinik, dihadapkan kepada risiko terinfeksi kecuali kalau dilakukan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, petugas kesehatan yang melayani mereka dan staf pendukung (seperti staf rumah tangga, pembuang sampah dan staf laboratorium) semuanya dihadapkan kepada risiko terjadinya infeksi (IBI, 2006).
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa BPS termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di BPS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung BPS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola BPS menerapkan upaya-upaya K3 di BPS. 

Pemberian Salep Mata Terhadap Bayi Baru Lahir

Pengetahuan dasar yang harus dapat dikuasai oleh seorang bidan adalah pengetahuan dasar tentang adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan di luar uterus, kebutuhan dasar bayi baru lahir, kebersihan jalan nafas, perawatan tali pusat, kehangatan, nutrisi, bonding dan attachement, indikator pengkajian bayi baru lahir, misalkan APGAR, penampilan dan perilaku bayi baru lahir, tumbuh kembang yang normal pada bayi baru lahir sampai 1 bulan, memberikan imunisasi pada bayi. 
Masalah yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti caput, molding, mongolion spot, hemangioma, komplikasi yang lazim terjadi pada bayi baru lahir normal seperti hypoglikemia, hypotermi, dehidrasi, diare dan infeksi, ikterus, promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi baru lahir sampai 1 bulan, keuntungan dan resiko imunisasi pada bayi, pertumbuhan dan perkembangan bayi premature dan komplikasi tertentu bayi baru lahir sperti taruma intra-cranial, fraktur clavicula, kematian mendadak, hematoma (IBI, 2006). 

Hingga kini, infeksi masih merupakan masalah yang serius pada bayi baru lahir (BBL). Infeksi juga masih berperan utama dalam angka kesakitan dan angka kematian BBL di Indonesia. Sampai saat ini, memang belum ada data nasional yang akurat mengenai angka kesakitan dan kematian karena infeksi pada BBL. Namun, sejak krisis ekonomi melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan angka kematian bayi cenderung meningkat.Faktor tidak langsung misalnya keadaan sosial dan medis. Sedangkan faktor yang berpengaruh langsung adalah kontak bayi dengan organisme yang potensial patogenik, yang tidak dapat diatasi oleh daya tahan tubuh bayi tersebut Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi yang disebabkan oleh paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir.
Infeksi pada bayi baru lahir ada dua tipe yaitu early infection (infeksi dini) dan late infection (infeksi terlambat). Disebut infeksi dini karena infeksi didapat dari si ibu saat masih dalam kandungan. Sementara late infection adalah infeksi yang didapat dari lingkungan luar, bisa lewat udara atau tertular oleh orang lain. Beragam infeksi bisa terkena pada bayi baru lahir, seperti, herpes, toksoplasma, Rubella, CMV, hepatitis, eksim, infeksi saluran kemih, infeksi telinga, infeksi kulit, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), dan HIV/AIDS (www.waspada.co.id).
Fungsi imunologis sang bayi yang belum berkembang dengan baik  berpengaruh terhadap angka kesakitan dan kematian karena infeksi pada BBL. Terlihatnya cadangan prekursor granulosit yang masih rendah dalam sumsum tulang, masih rendahnya aktivitas komplemen serum, dan masih rendahnya kesanggupan memproduksi antibodi terhadap antigen polisakarida bakteri dan lain-lainnya, merupakan indikasi fungsi imunologis yang belum berkembang dengan baik. Juga, sedikitnya IgG yang diperoleh dari ibu turut pula berperan.
Infeksi yang terjadi pada BBL dapat pula disebabkan oleh kontak bayi  dengan organisme yang potensial patogenik. Mekanismenya terbagi dalam tiga kategori, pertama, Infeksi Intrauterin (transmisi melalui plasenta). Kedua, infeksi saat persalinan. Ketiga, infeksi pascanatal yang berasal dari ibu setelah melahirkan, dari lingkungan, dan rumah sakit. Ibu yang mengidap cytomegalovirus, toxoplasmosis, HIV (Human Immunodeficiency Virus), rubella, hepatitis, herpes simplex, syphylis, bakteri, dan lain-lain, tentu dapat menular ke janin/bayi pada intranatal. Bila infeksi terjadi pada ibu sebelum konsepsi atau pada masa perinatal, kata Rachma, dampaknya akan terjadi sekaligus kepada ibu, janin, dan bayi yang baru lahir. (http://pusdiknakes.or.id).
Dari Perhitungan dengan Mortpak dari data Susenas 2004 memperoleh perkiraan Angka Kematian Balita sebesar 74 per 1000 balita, dengan referensi waktu Mei 2002. Artinya, pada tahun 2002 setiap 1000 balita (umur 0 sampai 4 thn 11 bln 29 hari) pada tahun 2002, 74 anak diantaranya tidak akan berhasil mencapai umur tepat lima tahun.Di propinsi lampung Angka Kematian Balita sebesar 47 per 1000 balita,dengan refernsi tahun 2007 Artinya, setiap 1000 balita (umur 0 sampai 4 thn 11 bln 29 hari) pada tahun 2007, 47 anak diantaranya tidak akan berhasil mencapai umur tepat lima tahun.( http://demografi.bps.go.id).
Bayi yang baru lahir ketika tidak mendapatkan salep mata dalam waktu kurang dari 1 jam menyebabkan infeksi mata bayi baru lahir. Bila keadaan ini tidak diobati atau terlambat diobati bisa timbul kerusakan kornea, mulai dari bentuk ulkus hingga perforasi (Depkes, 2000).
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap infeksi yang disebabkan oleh paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir. Pada bayi baru lahir, saluran air mata belum terbuka sempurna, selain mata tampak merah, bayi akan terlihat seperti mengeluarkan air mata terus (di bagian mata dekat hidung) walaupun sedang tidak menangis. (http://www.scribd.com).
Salep mata memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan obat tetes mata. Salep mata cenderung lebih awet (dalam penyimpanan), penggunaannya juga lebih efisien dan tahan lama. Tidak seperti tetes mata yang cepat menguap habis akibat terbuang bersama air mata sehingga kita harus lebih sering menggunakannya, salep mata lebih lama menempel di mata sehingga pengobatannya pun menjadi lebih efektif. Pada penderita akut, salep mata sangat dianjurkan daripada tetes mata yang harus diteteskan setiap 3 sampai 4 jam sekali, karena daya kerjanya cepat menghilang, terbuang bersama air mata. Dengan penggunaan yang dioleskan pada kelopak mata bagian dalam, diharapkan zat aktif dalam salep mata dapat bekerja optimal, sehingga diharapkan penyembuhan menjadi lebih cepat.
Cara penggunaan salep mata tidak jauh berbeda dengan penggunaan obat tetes mata. Kedua jenis obat ini (salep mata dan tetes mata) merupakan obat steril. Jadi untuk mencegah kontaminasi, ujung wadah obat jangan sampai terkena permukaan lain dan tutup rapat sesudah digunakan. Selain itu, satu obat mata hanya boleh digunakan untuk satu orang saja. Hal ini penting, karena sakit mata yang diderita oleh satu orang dengan yang lain mungkin berbeda sehingga membutuhkan jenis obat yang berbeda. Selain itu juga untuk mencegah penularan penyakit mata ke orang lain. Selanjutnya, obat mata yang masih tersisa satu bulan setelah tutup dibuka harus segera dibuang, karena obat mata akan cepat rusak setelah dibuka. (Depkes, 2000).